Selamat 28, Septermber.
Saat ini adalah hari dimana saya dilahirkan, hari
dimana saya merasakan kefanaan di dunia keluar dari rahim seorang ibu yang
sebelumnya mengalami proses yang cukup lama. Terimakasih, Ibu, Ibu, Ibu, Ayah.
Menurut saya, tidak ada yang harus dirayakan untuk
bertambahnya usia. Kita hanya harus menghargainya. Biasanya saya menghargai
hari kelahiran dengan perenungan dan nyepi. Ini adalah saat dimana saya semakin
gelisah untuk menjalani hidup. Semakin merasakan tanggung jawab dalam menjalani
hidup. Bertambahnya usia yang semakin tua atau pemikiran yang tidak bisa
menjadi dewasa bukanlah suatu masalah. Tetapi yang menjadi masalah adalah
berpikir jika hidup saya tidak bermanfaat untuk sesama. Dan itu yang sering ada
dalam hidup saya. Saya tidak tahu sisa umur saya berapa. Tetapi, hidup
berbicara tentang perjuangan. Berarti sudah cukup lama saya untuk merasakan
hidup. Setelah melewati usia belasan, sekarang saya mulai untuk memasuki usia
puluhan. Dan ini merupakan awal dari saya untuk merasakan usia puluhan.
Merasakan awal dari kehidupan mulai dari fase Nol kembali.
Saya percaya bahwa Nol adalah awal untuk kita ketahap
berikutnya mulai dari awal kembali. Menurut saya, 0-10 merupakan masa kecil,
10-20 merupakan masa remaja, 20-30 masuk kedalam masa dewasa hingga kematangan,
30-40 berada sampai di usia matang, 40-50 masuk kedalam usia matang menuju usia
tua kita, 50-60 saat dimana kita harusnya semakin merindukan kepada yang
menciptakan kita menjadi manusia seutuhnya. Lebih dari usia tersebut itu adalah
bonus untuk kita lebih menikmati kehidupan. Kita mempunyai lima tahapan dalam
hidup. Tapi saya hanya membagi menjadi empat bagian: Remaja, Dewasa, Matang,
Tua. Karena masa kecil (anak-anak) merupakan masa pembentukan diri kita, belum
seutuhnya mengetahui kehidupan. Atau dalam bahasa agama disebut dengan akil-baligh. Selain
itu, empat bagian ini pun saya ambil dalam karakter diri dalam tokoh pewayangan
Punakawan, yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Lagi, menurut saya kita harus menanamkan diri
Punakawan dalam diri yang terdiri dari Cipta, Rasa, Karsa, dan Karya. Pada usia
remaja kita memasuki proses Cipta (pemikiran dan akal), dewasa kita memasuki
proses Rasa (memakai hasil pemikiran dan akal dengan perasaan), Karsa adalah
tahap dimana kita memasuki usia matang (niat dan kemauan), dan sampai pada
puncaknya Karya (pencapaian dari Cipta, Rasa, dan Karsa menjadi sesuatu yang
menghasilkan). Atau jika ingin menemukan siapa diri kita dari dalam. Kita harus
melalui jalan yang sepi, menuju jalan yang sunyi, lalu menuju ke jalan hening,
hingga sampai pada akhirnya mencapai jalan suwung. Jalan sepi
adalah jalan menyendiri dan jauh dari keramaian rame ing sepi,
disini pemikiran dan akal diolah. Menuju kedalam jalan hening atau sunyi dengan
kembali ke keramaian rame ing rame, maka disini rasa akan
diasah dengan keseharian. Lalu, kita melalui jalan hening yang
dimana kita menyepi dalam keramaian sepi ing rame. Hingga pada
akhirnya kita menempuh jalan suwung, dimana sepi dan ramai tidak
ada bedanya. Mencipta disemua keadaan. Berkarya sepanjang masa. Tetapi, semua
ini tidak harus terpatok pada usia yang saya sebut diatas. Jika Anda baru
mengetahui pelajaran yang seperti ini dan ingin mengetahui kesejatian diri,
bisa memulai dari awal. J
Pada waktu SMP atau proses setelah saya mengalami masa
kecil, saya mengalami proses awal kegelisahan dalam diri. Kegelisahan disini
bukan berarti galau. Menurut saya, kegelisahan adalah suatu keresahan yang
mimiliki poros, tetapi kalau galau itu tidak. Dalam kegelisahan saya mulai
mempertanyakan siapa sesungguhnya diri saya. Mempelajari asal muasal diri saya
(asal muasal perwujudan diri saya). Darimana saya diciptakan, untuk apa, dan
nanti akan kembali kemana setelah saya mati. “Karena sesungguhnya sesuatu yang
hidup sudah pasti akan mati, tetapi yang mati belum tentu akan dimatikan”.
Pertanyaan demi pertanyaan muncul dari akal pemikiran saya. Dengan awal
kegelisahan tersebut, saya mengalami yang namanya proses berkembang. Saya
mencoba berkembang dengan diri saya sendiri. Mencari tahu rahasia (jawaban)
dari setiap pertanyaan. Dan pertanyaan sudah membuat saya menjadi berkembang.
Dalam hidup pertanyaan bagaikan batu bata yang dibangun untuk menjadi suatu
rumah. Disusun sekian banyak dan sedemikian rupa hingga rumah tersebut itu
jadi. Pertanyaan juga suatu proses pembelajaran kita. Untuk itu mengapa dalam
hidup kita diharuskan untuk selalu belajar. Apapun, dimanapun, kapanpun, oleh
siapapun, dan dengan cara bagaimanapun.
Sejak SMA saya juga mulai mempertanyakan kesejatian
hidup. Saya mulai merindukan yang namanya kematian. Merindukan pencipta saya.
Saya bukan orang yang takut untuk mati. Saya merupakan orang yang takut untuk
hidup di dunia. Tapi dunia juga telah mengajarkan saya untuk berkelana dalam
hidup. Berserah. Mencari keseimbangan dalam diri. Mengisi ketiadaan dalam diri.
Meyakini diri dalam diri sendiri. Belajar. Diskusi. Tidak untuk sukses. Tidak
untuk bahagia. Toh nanti juga kita akan mati. Selain itu, sejauh ini saya pun
masih belum mendapatkan makna dari sukses dunia yang seungguhnya/kesejatian,
begitupun bahagia. Karena yang saya dapat di dunia hanyalah kegembiraan dan
kesenangan semata. Sedangkan yang saya cari adalah bahagia yang sejati. Mungkin
ini bisa menjadi bahan pembelajaran saya selanjutnya. Tetapi sesungguhnya
bukannya hidup di dunia ini hanya senda gurau belaka? Ya, sesungguhnya
kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau [QS Muhammad
[47]:36]. Hidup adalah permainan sandiwara. Didalamnya terdapat kisah, babak,
plot, adegan, skenario, karakter dan ide. Dia yang menjadi Sutradara, yaitu
empunya ide. Dia menghidupkan karakter. Dari karakter muncul skenario, yang
sedari-mula telah dituliskan. Tiap aktor atau aktris adalah perwujudan dari
karakter yang kisah hidupnya dalam babak demi babak telah ditentukan dalam plot
atau alurnya. Sesempurna mungkin ditiap adegan dan tidak mungkin keluar dari
skenario. Matilah sandiwara, kisah, babak, plot, adegan dan skenario jika
Sutradara menghendaki. Berubah plot jika Sutradara menghendaki. Namun Ide tidak
akan pernah mati. Ia hidup sejak bermula hidup. Hidup yang tidak berakhir.
Saya menyadari bahwa saya terlahir sebagai janin
sendiri-bukan berarti tanpa bantuan dan pertolongan orang lain-maka nanti
menjadi mayat pun sendiri. Hingga sekarang saya menganggap diri saya di dunia
ini tidak ada. Bukan siapa-siapa, bukan apa-apa, tidak mempunyai apa-apa untuk
dunia. Tetapi apa-apa yang ada hanyalah Dia, Allah Yang Maha Ada. Meski tidak
tampak, sesungguhnya Ada-Nya ada. Seperti angka yang dimulai dari 1-9, Dia
adalah 0. Tidak berada didalam, tidak berada diluar dari angka. Seperti saya
yang tidak bisa melihat telinga, jantung, paru-paru dan semua organ yang berada
didalam diri saya atau tidak tampak di dalam saya sendiri, saya meyakini
Ada-Nya. Karena buktinya saya bisa mendengar, bernafas, dan hidup. Seperti
agama Islam yang berkedudukan sebagai agama penyempurna dari semua agama. Saya
pun ingin menjadi penyempurna untuk semesta dan diri saya. Penyempurna harus
ada yang disempurnakan, pun sebaliknya. Jika tidak ada yang disempurnakan lalu
apa fungsi penyempurna. Penyempurna pun bukan berarti paling sempurna. Maka
dari itu Islam tidak berdiri sendiri, saling menguatkan dengan agama-agama
lain. Begitupun hidup dan diri saya. Selain dengan orang-orang yang berada
disekitar saya sebagai penyempurna untuk diri saya. Pemberdayaan akal, hati,
dan pemikiran saya tetap harus disempurnakan. Jasmani-rohani dan raga-jiwa
harus seimbang agar saling menguatkan. Bukan hanya raga yang harus diolah.
Begitupun hati, rasa dan ilmu juga perlu untuk diolah.
Nol adalah awal dari segalanya. Saya dalam proses
untuk mencoba bunuh diri. Bunuh diri bukan berarti membunuh diri (raga). Tetapi
membunuh segala rasa penyakit hati (sirik, dengki, iri, dendam, munafik, dusta,
dsb) untuk menjadi terlahir kembali. Berkenala kembali dari titik nol di tahap
berikutnya. Menjadi manusia yang berbudaya-manusia yang mengambil suatu
makna- bukan manusia pragmatis-manusia realistis yang mengambil nilai guna-
dalam hidup di dunia. Mungkin dengan ini saya bisa menemukan bahagia yang
sejati sebelum berlanjut untuk mencapai Kesadaran asal-muasal kejadian. Lalu
Menemukan Cahaya. Cahaya di atas Cahaya. Semoga.
Tidak untuk bermaksud untuk menggurui, tetapi saya
disini hanya berbagi bagaimana saya belajar. Bersyukur jika bermanfaat. Tidak
pun tidak apa-apa. Tidak ada paksaan. Maafkan segala kesalahan saya dalam
berkata.
Salam--